Rabu, 03 Oktober 2012

Citizen Duane



Ada yang bilang masa remaja adalah masa yang paling ga terlupakan, masa paling asik buat gila-gilaan, nikmatin dunia, dan lain sebagainya. Tapi ada juga yang berbeda pandangannya dalam mengahadapi masa remaja, contohnya Duane Balfour dalam film berjudul Citizen Duane, yang siperankan oleh Douglas Smith.  Duane dalam perannya sebagai anak sulung dari pasangan suami-istri Balfour memiliki karakter keras kepala, sama seperti ayahnya. Semasa kecilnya, Duane sangat dekat dengan ayahnya dan mengenal betul  karakter ayahnya yang selalu mempertahankan apa yang diyakininya. Melalui proses belajar, karakter ayahnya yang keras kepala dan selalu mempertahankan apa yang diyakininya itu terinternalisasi ke dalam dirinya yang membentuk identitas dirinya menjadi anak yang keras kepala, responsive, ambisius, dan suka seenaknya sendiri. Ditambah lagi dengan pamannya yang dekat secara personal dengannya dan kerap kali mendukung hal-hal yang dilakukan Duane. Ibunya, yang kerap kali ‘kewalahan’ dengan ulah Duane di sekolah maupun di luar sekolah, tidak dapat berbuat banyak untuk menghentikan tingkah anaknya yang sering membuat onar, meskipun bukan berarti sang ibu mendukung tingkah anaknya itu.

      Jika ingin membandingkan konsep diri pada kedua remaja yang menjadi musuh satu sama lain itu, tentu saja berbanding terbalik. Duane Balfour, anak yang ambisius terhadap keluarga Milton  terlebih khusus Chad, selalu memiliki cara dan ide-ide konyol untuk mengalahkan musuh besarnya itu. Duane yang ayahnya tertembak mati akibat tindakannya yang dianggap ekstrem, memiliki rasa dendam yang berkepanjangan sehingga membuatnya menjadi anak yang  ‘nakal’. Setelah sekian lama dihantui rasa marah dan berbagai cara yang tidak membawa hasil untuk menjatuhkan chad dan keluarga Milton, Duane yang hanya seorang anak SMA memberanikan diri untuk mencalonkan diri menjadi walikota Ridgeburg dengan berbekal nekat dan keyakinan bahwa yang dilakukannya itu ialah cara terbaik. Duane termasuk anak yang cerdik dan tangguh, ketika ia diperhadapkan pada situasi yang sama sekali tidak mendukungnya bahkan mustahil untuk mendapatkan dukungan, ia tetap teguh dan percaya diri untuk mengalahkan musuhnya dan membawa perubahan pada kota tempat ia tinggal. Berbeda dengan Chad, yang adalah anak  dari walikota Ridgeburg. Selama hidupnya, chad dikelilingi oleh orang-orang yang menghargainya sebagai anak dari orang yang palling berkuasa di kota tersebut. Dengan mudah ia dapat menjadi ketua dewan murid-murid di sekolahnya, karena backgroundnya sebagai anak dari ‘orang terkenal’ di kotanya itu. Semua didapatnya dengan mudah, sehingga membuatnya angkuh.
      Selama berada di sekolah, Duane Balfour metidak terlepas dari tingkahnya yang selalu mengganggu dan menyerang Chad. Ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk meruntuhkan rezim Milton dari kotanya ialah menyerang anak dari walikota Ridgeburg. Namun karena tingkahnya yang semakin meresahkan, akhirnya ia mendapatkan penanganan khusus dari gurunya. Hingga suatu hari pada pertemuan di kelas dengan gurunya, Duane mendapatkan pencerahan dari gurunya. Saat itu gurunya memberikan jalan lain yang tidak pernah terpikirkan olehnya, bahwa kehidupn chad yang adalah anggota keluarga Milton hanya terpaku pada kota yang kecil itu, yaitu Ridgeburg. Sedangkan kehidupan Duane bias menjadi lebih baik lagi di dunia yang luas ini. Jadi, kekerasan tidak akan membawa perubahan apapun terhadap dirinya. Sehingga ia memutuskan untuk meruntuhkan kekuasaan keluarga Milton dengan bersaing secara sehat dan intelek. Hal tersebut merupakan salah satu proses asimilasi dari pengetahuannya mengenai penyerangan secara fisik menjadi penyerangan secara intelek. Ketika ia mulai terjun langsung ke dalam pencalonan walikota, ia belajar menyuarakan pendapatnya melalui jalur politik dan membuka pikiran masyarakat luas, supaya mereka dapat mengatur dan mengelola kotanya sendiri. Ia mengakomodaikan proses kognitifnya ke dalam situasinya yang menuntut tindakan yang berintelektual, cerdas dan sopan.
Meskipun pada akhirnya Duane menyerah dalam pemilihan tersebut, ada hal yang berasal dari luar dirinya yang menyatakan bahwa tindakannya dan apa yang diyakini ayahnya itu benar, yaitu terjadinya longsor di daerah bukit Ridgeburg, tempat dulu ayahnya bekerja. Hal tersebut membuktikan bahwa ketika kita menghadapi suatu fenomena atau kejadian yang kita anggap benar dan memang benar pada kenyataannya, dukungan dari factor eksternalpun pasti akan mengarah kepada kita, baik dari manusia maupun alam. :)

Minggu, 24 Juni 2012

Anak & media : lebih seru petualangan Up atau A Bug’s Life?



            Siapa yang suka film petualangan membasmi penjahat? Kalau teman-teman suka, ada satu cerita di buku yang sayang banget untuk ditinggalkan, juga satu film yang ga kalah serunya sama cerita-cerita petualangan yang lain. 
Bagi yang suka baca buku, bisa baca buku A Bug’s Life, yang menceritaka tentang bagaimana kehidupan serangga, khususnya para semut, yang berjuang melawan belalang jahat yang ingin merampas semua makanan yang ada di tempat tinggal para semut tersebut. Penyerangan terhadap belalang dipimpin oleh flick, seekor semut yang biasa-biasa saja, tapi punya keberanian yang besar untu melawan belalang-belalang jahat.
Ada lagi cerita yang ga kalah serunya, yaitu Up. Film Up menceritakan tentang seorang kakek tua yang ditemani oleh seorang anak yang adalah anggota kelompok ----, yang menjalani petualangan seru demi memenuhi cita-cita si kakek untuk membangun rumah di atas tebing dekat air terjun. Pastinya cerita-cerita tersebut bermanfaat dan menghibur. Untuk lebih jelasnya tentang kedua cerita yang sudah disebutkan di atas, lihat tabel di bawah ini :

Data umum
Jenis : buku bacaan bergambar
Judul : A Bug’s Life (terj : kehidupan serangga)
23 hlm, tahun 2000
Jenis : film
Judul : Up
Durasi : 1 jam 28 menit 15 detik, tahun 2009
Penyampaian content
Menggunakan gambar berwarna disertai dengan paragraf dalam tiap halaman untuk dibaca.

Menggunakan animasi dari karakter manusia, baik dari tokoh manusia itu sendiri maupun anjing-anjing yang dipelihara.
Content
·        Bercerita tentang kehidupan serangga,  bagaimana mereka bertahan hidup ditengah-tengah bahaya dari serangga lain
·        Serta berisi tentang nilai-nilai kejujuran dan kesetiaan akan kelompoknya.
·         Menceritakan kehidupan seorang kakek  yang berpetualang demi mencapai  keinginan membangun rumah di atas tebing air terjun.
·         Berisi nilai moral mengenai memberikan ketulusan dalam memberi pertolongan (Russell)

Tujuan / materi yang ingin disampaikan/pelajaran yang bisa diambil
·         Mengajarkan tentang pentingnya berkata jujur kepada orang lain
·         Mengajarkan untuk memberikan bantuan saat teman memerlukan bantuan
·         Memberikan contoh tentang kesetiaan kepada kelompok
·         Mengajarkan anak untuk menjadi lebih kreatif dalam membuat berbagai macam alat.
·        Bagaimana seseorang berusaha keras menggapai cita-citanya
·         Mengajarkan tentang ketulusan dalam memberikan bantuan kepada orang lain
Sasaran pembaca/penonton
·      Semua umur namun lebih cocok untuk anak usia pra-sekolah maupun awal sekolah, karena biasanya mereka membaca suatu cerita masih memerlukan gambar atau simbolis untuk memperjelas ceritanya, ditambah dengan tulisan yang relatif sedikit
·      Cocok untuk laki-laki maupun perempuan karena penggunaan karakter laki-laki maupun perempuan tidak ada yang terlalu dominan
·         Semua umur, namun lebih cocok untuk anak-anak sekolah dasar, karena untuk anak-anak seusia tersebut lebih banyak berfantasi mengenai cita-cita mereka dan mengajarkan anak-anak sejak dini untuk saling memberikan bantuan
·         Cocok untuk laki-laki maupun perempuan, karena kisahnya bebas gender
Pengemasan media (kelebihan & kelemahan)
·      Menarik, karena mengambil sudut pandang kehidupan hewan (serangga) yang juga masih relevan dengan kehidupan manusia
·      Bermanfaat untuk pengetahuan anak-anak mengenai kehidupan serangga
·      Konflik dalam cerita sedikit berputar-putar.
·      Penggambaran yang lebih colourful, sehingga menarik untuk anak-anak.
·      Bermanfaat untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya meraih cita-cita

Teori yang relevan
·      Dalam teori pemrosesan informasi, pada masa awal anak-anak, mereka sudah mulai berpikir silogisme. Sehingga mereka dapat mengaitkan karakter dalam tokoh-tokoh di cerita, seperti semut yang adalah pekerja keras, belalang lebih besar dari semut (Pemrosesan Informasi dalam Santrock, 2002)
·      Anak-anak sekolah dasar masih memiliki keinginan atau cita-cita yang idealis, artinya hanya sekedar apa yang mereka sukai dan yang terlihat ‘keren’. Terlihat dari cita-cita si kakek sewaktu masih kecil, yang ingin membangun rumah di tebing jurang, yang terlihat mustahil. ( Piaget dalam Santrock, 2002)
·      Pengambilan perspektif dalam pemahaman diri juga terlihat dari kemampuan anak-anak seusia Russell dalammengambil perspektif orang lain dan memahami pikiran serta perasaan-perasaannya. (Robert Selman dalam buku Santrock, tahun 2002)

Analisis dari kedua media :
            Seperti cerita anak-anak pada umumnya, kisah dalam buku A Bug’s Life maupun film Up juga menggunakan karakter-karakter yang menarik sehingga anak-anak tidak  bosan dan dapat belajar dari tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Dalam cerita kehidupan serangga yang diterbitkan oleh Disney and Pixar Animation Studios ini dibuat sesuai dengan kemampuan anak-anak prasekolah sampai masa awal sekolah, yaitu dengan gambar berwarna dan satu paragraf tulisan yang menjadi cerita dari gambar tersebut dengan kalimat langsung maupun kalimat tak langsung. Cerita yang dikemas oleh Disney tersebut juga imajinatif, sehingga membuat anak-anak ikut membayangkan karakter masing-masing tokoh, baik dari tokoh semut yang baik maupun belalang yang jahat. Cerita-cerita serupa yang juga menggunakan hewan sebagai tokohnya biasa disebut fabel. Melalui cerita yang digambarkan, anak memahami bentuk-bentuk hewan yang dimaksudkan, sehingga ketika mereka dihadapkan pada gambar yang sama, mereka akan mengetahui bahwa gambar yang dimaksud ialah hewan tersebut. Selain itu, anak-anak juga memahami mengenai sifat-sifat hewan, dalam kasus ini serangga, meskipun ada beberapa karakter yang dibuat sama seperti karakter manusia. Hal itu dibuat supaya anak-anak dapat lebih mudah dalam memahami isi cerita dan pesan-pesan yang ingin disampaikan yang disesuaikan dengan kehidupan manusia. Pemahaman tersebut memerlukan penalaran, yang dalam teori pemrosesan informasi disebut silogisme. Melalui cerita A bug’s life, anak diajak untuk ‘berpikir’ mengenai karakter tokoh maupun hubungan sebab-akibat dari setiap hal yang terjadi, sehingga anak dapat mengambil suatu kesimpulan yang sesuai dengan ceritanya.
Kelebihan dari cerita dalam buku ialah, orang tua maupun orang dewasa lainnya dapat melakukan pendekatan atau menjalin keakraban dengan cara membacakan cerita dalam buku tersebut, dan membuat suasana yang hidup dengan intonasi maupun mimik wajah sesuai alur ceritanya. Dalam kasus ini, cerita A bug’s life mengambil sudut kehidupan semut yang bekerja keras dalam mencari makanan sebagai cadangan di musim dingin.
Berbeda dengan penyampaian cerita melalui film. Kisah petualangan yang diceritakan pada film Up yang disutradarai oleh Pete Docter ini juga membawa ketertarikan tersendiri. Selain dapat melihat setiap gerakan yang terjadi secara detail, kita juga dapat melihat ekspresi tokoh-tokoh yang muncul, sehingga suasana ceritapun terasa lebih hidup. Terlebih lagi mengenai isi cerita dan pesan-pesan yang ditampilkan juga terasa lebih konkret, sehingga anak-anak dapat memahami bagaimana seharusnya bertindak ketika dihadapkan dengan hal yang sama. Isi cerita film Up sangat menggambarkan pola pikir anak-anak yang masih menginginkan sesuatu yang dalam kacamata orang dewasa terlihat mustahil, yang dalam teori termasuk ke dalam operasional konkret. Anak hanya mengerti apa yang dia tahu, tanpa mengerti jalan apa yang harus ditempuh maupun tindakan apa yang harus diambil dalam mencapai semuanya itu.
Persamaan dari kedua cerita yang berbeda kisah dan berbeda media tersebut ialah pesan yang terkandung di dalam isi ceritanya. Karena cerita-cerita ini lebih cocok untuk anak-anak pra-sekolah hingga anak sekolah dasar, pentingnya pengembangan moral mengenai apa yang baik dan buruk dalam lingkungan sosialnya juga dapat disampaikan melalui cerita-cerita tesebut. Dalam kasus kedua cerita ini, ditunjukan mengenai ketulusan dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Sehingga anak-anak diajarkan bagaimana menolong orang lain dan saling berbagi.

My opinion / conclusion :
            Dalam memahami sebuah cerita, saya lebih suka melihat gambar yang dapat bergerak, dengan kata lain, saya lebih suka menonton dibandingkan membaca. Sekalipun saya menyukai keduanya. Karena menurut saya, menonton akan membawa sensasi tersendiri dalam pemberian kesan terhadap cerita yang dibawakan. Gambar yang bergerak akan lebih menarik perhatian dibandingkan gambar yang hanya ada pada kertas. Namun, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa cerita dalam buku yang diceritakan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya kepada anak-anak, akan menimbulkan suatu kelekatan tersendiri. Karena kemungkinan orang tua berinteraksi secara langsung dengan anak sangat besar dibandingkan dengan menonton film. Akan lebih baik bila orang tua menggunakan media buku untuk membawakan suatu cerita, khususnya untuk anak-anak pra-sekolah hingga sekolah dasar. Selain untuk membangun hubungan yang lebih harmonis, anak juga dilatih untuk menyukai bacaan, sehingga anak menjadi gemar membaca.
selamat membaca.

Senin, 11 Juni 2012

Keyakinan Terhadap Mitos Terkabulnya Permohonan di Gunung Kawi (Metode Penelitian Kualitatif)

Bangsa Indonesia merupakan bangsa multikultural, artinya Indonesia terdiri atas berbagai macam budaya. Keberadaan multikultural dalam bangsa Indonesia membawa keunikan tersendiri bagi bangsa ini. Masing-masing budaya memiliki ke-khasan sendiri dalam mendalami arti sebuah keyakinan. Adat-istiadat yang dijalankanpun dapat berbeda sekalipun berada dalam satu pulau. Seperti halnya suku baduy yang berada di daerah Jawa Barat, akan berbeda dalam menjalankan adatnya dengan suku yang ada di Jawa Timur.

Dalam suatu budaya, mitos membawa pengaruh tersendiri bagi berlangsungnya suatu adat tertentu. Begitu pula dengan bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, sehingga berbagai macam mitos juga  muncul seiring dengan kepercayaan masyarakat akan leluhur mereka. Sayangnya, di jaman modern seperti ini, banyak orang-orang yang tidak benar-benar memahami budayanya sendiri, sehingga mereka tidak mengerti makna dibalik mitos yang ada dalam budayanya. Padahal, adat dalam suatu budaya berkaitan erat dengan mitos. Karena mitos itu sendiri dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti cerita suatu bangsa tentang  dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut  mengandung arti mendalam yg diungkapkan dengan cara gaib.

Seperti halnya mitos yang ada di Gunung Kawi, yang letaknya pada ketinggian2.860 meter pada permukaan laut di kabupaten Malang, Jawa Timur, tepatnya di kecamatan Wonosari, yaitu sekitar 40 km sebelah barat kota Malang. Mitos pesugihan yang muncul dari gunung Kawi menjadi kepercayaan bagi masyarakat, bahkan sampai masyarakat yang berada di luar daerah Jawa Timur.  Makam eyang Kyai Zakaria II atau yang biasa dipanggil dengan sebutan eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono menjadi tujuan utama pengunjung saat datang ke Gunung Kawi. Mereka meyakini bahwa setiap permohonan yang mereka minta pasti akan terkabul. Keyakinan akan terkabulnya permohonan di Gunung Kawi pun membawa peneliti kepada rasa ingin tahu yang besar mengenai alasan dan bentuk-bentuk keyakinan tersebut.



Penelitian ini dilakukan di daerah pesarean Gunung Kawi yang berada pada kabupaten Malang, Jawa Timur. Ketika pertama kali tiba di daerah Gunung Kawi, peneliti mampir di toilet umum yang disediakan warga bagi pengunjung, tepatnya di dekat parkiran bus yang dinaiki oleh peneliti dan kawan-kawan, peneliti sempat berbincang dengan salah seorang warga setempat yang kebetulan sedang menjaga mushola yang letaknya tidak jauh dari toilet umum tersebut. Peneliti bertanya kepada warga tersebut mengenai mitos pesugihan yang sangat melekat dengan keberadaan makam eyang Djoego dan eyang Soedjo yang berada di Gunung Kawi tersebut. Sang narasumber tersebut mengatakan bahwa mitos tersebut tidak benar, karena pada awalnya orang-orang yang berkunjung ke Gunung kawi hanyalah ingin berziarah ke makam kedua tokoh yang dimakamkan di Gunung Kawi tersebut. Bila ada penyimpangan dari hakikat ziarah tersebut pasti karena adanya ‘berita tambahan’ yang dibuat oleh pengunjung itu sendiri. Rasa ingin tahu yang semakin kuat membuat peneliti ingin mencari tahu alasan kunjungan para pengunjung dan apa yang mereka harapkan dari ziarah tersebut.
Sesuai dengan fenomena yang muncul dan data-data yang ditemukan oleh peneliti, kebanyakan pengunjung yang datang memiliki tujuan sama, yaitu berziarah ke makam eyang Djoego dan eyang Soedjo, namun mereka juga datang dengan permohonan yang beraneka macam. Hal tersebut didapatkan peneliti melalui wawancara yang dilakukan dengan salah satu pengunjung yang berasal dari Wonogiri, yang bernama pak Sukirman, yang jauh-jauh datang ke makam eyang Djoego dan eyang Soedjo yang ingin berziarah dan mengajukan permohonan demi kelancaran usahanya dalam berdagang. Beliau mengaku telah menjalani rutinitas berziarah ke Gunung kawi sejak tahun 1989 hingga sekarang. Meskipun saat pertama kali beliau datang belum ada penerangan untuk jalanan menuju makam eyang Djoego dan eyang Soedjo, beliau dan kawan-kawannya bertekad untuk tetap pergi berziarah, dan tentunya membawa suatu permohonan. Dengan tegas beliau mengatakan bahwa keyakinanlah yang membawanya sampai kepada Gunung Kawi, dan beliau memberikan pernyataan bahwa ketika beliau yakin dan memohon dengan kesungguhan hati, setiap permohonan pasti akan terkabul. Selama wawancara berlangsung, peneliti juga mengamati keyakinan yang dimiliki oleh oak Sukirman yang terlihat secara verbal, yaitu ketika beliau mengulang secara terus menerus dan memberikan penegasan bahwa hanya dengan kesungguhan dan keyakinan, permohonan akan dapat dikabulkan.
Pada saat penelitian berlangsung, pak Sukirman datang ke Gunung Kawi bersama-sama dengan rombongannya yang juga berasal dari Wonogiri. Beliau mengaku bahwa beliau mengetahui tentang mitos di Gunung Kawi melalui keluarganya dan lingkungan sosialnya di sekitarnya yang juga percaya akan mitos tersebut dan mengaku mitos tersebut benar-benar nyata. Hal tersebut membuktikan adanya penyampaian pesan dari generasi ke generasi mengenai kepercayaan akan mitos di suatu tempat. Permohonan yang biasa diajukan oleh pak Sukirman ialah keberhasilan akan usaha dagangannya. Beberapa kali permohonan tersebut terkabul, dan ketika beliau telah meraih kesuksesan, beliau kembali ke Gunung Kawi untuk membalas jasa roh eyang Djoego dan eyang Soedjo dengan menyumbangkan uangnya untuk pemeliharaan daerah pesarean Gunung Kawi. Sama seperti yang dilakukan oleh pengusaha Bentoel yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi perilaku-perilaku yang muncul dari pengunjung Gunung Kawi. Karena keyakinan merupakan sesuatu yang abstrak sehingga hanya dapat diamati melalui tingkah laku yang muncul dalam bentuk simbolisasi maupun verbal. Peneliti menemukan beberapa hal yang dilakukan oleh pengunjung yang datang, yaitu membawa bunga-bungaan untuk melakukan  ritual, ada pula yang mengitari makam sebanyak tujuh kali dan berhenti pada titik-titik tertentu dengan melakukan semacam gerak penyembahan.
Dalam teori Rollomay yang membahas mengenai mitos, yang juga menjadi bagian dari manusia. Bahkan mitos juga dapat membentuk identitas diri manusia yang terikat dalamnya. Seperti halnya pak Sukirman yang menginternalisasikan mitos tersebut ke dalam keyakinannya dan menjadikannya pedoman hidupnya. Tidak hanya secara individual, tapi mijtos juga dapat mengikat suatu komunitas bahkan masyarakat. Untuk itulah mitos membawa pengaruh yang kuat bagi manusia, terlebih lagi bagi bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman budaya. Banyak manusia modern sekarang yang terhanyut dalam suatu budaya modern yang malah menerjunkan mereka dalam kesia-siaan dalam mencari makna hidup.
Banyaknya pengunjung yang datang, khususnya pada malam jumat legi, menandakan masih banyak masyarakat Indonesia yang meyakini mitos yang ada di Gunung Kawi. Mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia datang mengunjungi pesarean Gunung Kawi. Mereka rela mengantri untuk melakukan ritual demi menyampaikan permohonan mereka. Bahkan orang-orang yang tergolong mampu yang terlihat dari fashion style-nya, juga ikut merayakan ritual di pesarean Gunung Kawi.
Informasi lainnya yang diperoleh peneliti dari kawan yang juga sedang melakukan penelitian ialah rata-rata pengunjung yang datang meminta kesuksesan dalam usahanya, dari bidang apapun. Namun, karena rata-rata pengunjung yang datang berasal dari daerah pedesaan, kebanyakan permohonan mereka ialah kelancaran dalam menjalankan usaha pertaniannya. Keyakinan mereka akan terkabulnya permohonan yang mereka minta membawa mereka kepada harapan. Menurut Rollomay, banyaknya orang-orang yang tidak memercayai mitos berusaha dalam ambisinya untuk mecari kesuksesan dengan usahanya sendiri beresiko mengalami alienasi, apati dan kekosongan.

Minggu, 01 April 2012

Diary of a wimpy Kid


Film yang disutradarai oleh Thor Freudenthal ini mengemas cerita mengenai perkembangan anak pada masa transisi dari masa anak-anak akhir menuju masa remaja secara unik. Pada film yang berjudul “Diary of a wimpy kid” ini dikisahkan seorang anak yang bernama Greg (Zachary Gordon) sedang memasuki masa awal menuju remaja dengan segala macam perubahan yang terjadi dan menulisnya ke dalam suatu buku harian yang diberikan oleh ibunya. Ia memulai masa-masa awal SMP dengan berbagai macam kejutan, mulai dari perubahan fisik secara drastis yang dialami oleh teman-temannya (karena memasuki masa puber), sampai status sosial yang akan menentukan layak atau tidaknya ia menjadi anak yang populer dan memiliki banyak teman. Disini diceritakan bahwa Greg belum mengalami perubahan apapun secara fisik, sama seperti sahabatnya, Rowley, yang bahkan masih telihat kekanak-kanakan menurut Greg. Namun perkembangan tersebut ditunjukkan dengan perkembangan psikososialnya, dimana ia memiliki keinginan kuat untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya untuk menjadi ‘sesuatu’.


Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masa-masa yang dialami Greg belumlah mencapai masa remaja, melainkan masa transisi dari anak-anak menjadi seorang remaja alias masa puber. Pada buku Perkembangan Anak karangan Santrock dijelaskan bahwa masa puber tidak sama dengan masa remaja. Sama halnya seperti kisah anak-anak pada buku Chicken Soup for Preteen Soul, dimana penulisnya rata-rata anak yang memasuki masa puber atau disebut sebagai pra remaja, yang tinggal di negara Paman Sam alias Amerika Serikat. Pada buku itu anak-anak banyak bercerita tentang orang-orang disekitar mereka yang seringkali tidak memandang mereka karena mereka bukanlah anak-anak lagi yang harus dimanjakan tetapi juga bukan remaja yang memiliki kebebasan berekspresi dan bertanggungjawab atas pilihan hidupnya. Seolah-olah tidak ada yang mengerti perasaan mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk meleburkan diri bersama dengan teman-teman sebayanya dan mencoba mencari cara agar mereka mendapatkan penerimaan sosial. Sama seperti apa yang dialami oleh Greg dan Rowley, dimana mereka mencoba aktif pada berbagai ekstrakulikuler agar mereka mampu menunjukkan bahwa mereka pantas menjadi yang paling populer dan dengan begitu mereka akan memiliki banyak teman.

Keinginan Greg untuk dapat muncul pada halaman ”orang-orang” hebat pada buku tahunan sekolah membuatnya melakukan berbagai macam cara, mulai dari ikut klub gulat, menjadi pemantau ketertiban sekolah, hingga mengikuti klub menyanyi. Namun semua itu tidak membuahkan hasil, malah membuatnya menjadi anak yang paling aneh dan paling berulah di sekolahnya. Bahkan, ia kehilangan sahabatnya karena keegosiannya untuk menjadi yang paling benar dan paling populer. Ia berbohong pada Rowley, sahabatnya, supaya ia tidak terlibat masalah lagi yang dapat membuatnya semakin terpuruk. Greg masih mengenakan pikiran ’kanak-kanak’nya, yaitu egosentris. Ia masih belum belajar bertanggung jawab atas perbuatannya.

Kehilangan satu-satu sahabat yang paling ia sayang merupakan satu pukulan keras dalam hidupnya. Ia kehilangan teman bercerita dan teman saling berbagi. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa teman sebaya merupakan salah satu tempat bagi seorang anak, yang sedang memasuki masa transisi anak-anak menuju remaja, untuk saling berbagi dan menyatukan ’kekuatan’ untuk bersama-sama memperoleh pengakuan sosial. Namun Greg tidaklah berhenti berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan sahabatnya tersebut. Sampai pada akhirnya ia membela temannya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan sahabatnya dari cemooh anak-anak sekolah. Ia mengakui bahwa ialah yang memakan keju yang menjadi ’benda keramat’ di sekolahnya tersebut. Disinilah Greg menunjukkan kedewasaannya baik secara emosional maupun kognitif. Karena ia mencoba membuka paradigma pikiran teman-temannya mengenai ’keju keramat’ yang sebenarnya tidaklah berarti apa-apa.

Sekalipun ia tidak dapat merubah paradigma pikiran teman-teman sekolah sepenuhnya, hal yang paling berhargalah yang ia dapatkan, yaitu persahabatannya dengan Rowley. Akhirnya, ia dapat mewujudkan keinginannya untuk menjadi salah satu ’orang hebat’ versi buku tahunan sekolahnya. Ia dan Rowley menjadi sahabat termanis yang pernah ada di sekolahnya. Sungguh kisah yang unik dan menarik untuk menunjukkan betapa berpengaruhnya seorang sahabat bagi anak-anak yang sedang memasuki masa-masa transisi dari anak-anak menuju remaja. Selamat menikmati film yang unik ini. :)

referensi :

Perkembangan Anak karangan Santrock

Chicken Soup for Preteen soul

Diary of a wimpy kid